Majalah Konyol -- Dalam penerapan delik suap di Indonesia, kerap terjadi ketidakadilan. Pasal-pasal yang dipakai untuk menjerat pemberi dan penerima suap seringkali tidak sinkron.
"Kejaksaan dan Kepolisian cenderung menggunakan Pasal 5 UU Tipikor dengan ancaman maksimal 5 tahun, sedangkan KPK menggunakan Pasal 12a dengan ancaman maksimal seumur hidup," kata Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Andi Hamzah di Jakarta, Rabu (27/3/2013). KPK secara kasat mata ingin memberikan efek jera maksimal kepada penerima suap. Namun, dalam praktiknya KPK cenderung tidak konsisten. Kepada pemberi suap, KPK menerapkan pasal yang ringan, sedangkan penerimanya diganjar pasal berat. Dalam penegakan hukum seharusnya ada konsistensi. Misalnya, kalau KPK menggunakan Pasal 5 ayat 1 untuk menjerat pemberi suap, pasangannya, penerima suap, harusnya dijerat Pasal 5 ayat 2. "Sungguh tragis penerapan hukum di Indonesia," keluhnya. Dia menilai penerapan pasal suap dalam UU Tipikor juga berpotensi menjadi ganjalan dalam pelaksaan Pilpres dan Pilkada. Sebab, dalam UU Tipikor, memberi sumbangan kepada incumbent bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. "Setiap pemberi sumbangan pasti ada maunya, itu dimaklumi dalam KUHP. Namun, dalam UU Tipikor itu dianggap tindak pidana korupsi," jelasnya. Kasus pengusaha Siti Hartati Murdaya bisa dijadikan contoh mengkriminalisasi pemberi sumbangan pilkada itu. "Untuk kasus Hartati saya berpendapat perbuatan itu merupakan delik berdasarkan Pasal 13 UU Tipikor. Tapi tidak melawan hukum karena diatur dalam UU Pemilu, asal tidak melewati maksimum pemberian sumbangan," tegasnya. Dia mengatakan, apabila kondisinya melewati maksimum, maka dia dapat dituntut berdasarkan UU Pemilu, bukan UU Tipikor. "Sayang KPK tidak berwenang menuntut pelanggaran UU Pemilu. Ini berbeda dengan KPK-nya Malaysia yang berwenang juga menuntut pelanggaran UU Pemilu. Berarti orang Malaysia lebih tajam dalam mengantisipai keadaan ke depan," terangnya. Dia meminta agar presiden bisa membuat Perppu khusus untuk memperbaiki Pasal 11, Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 6 ayat 2, sedangkan Pasal 12 a/b dan 12c dihapus. "Sebagai informasi, kekecauan UU Tipikor ini menjadi bahan disertasi di Belanda. Dan Profesor hukum Belanda juga sudah tahu ada blunder dan foolish mistake dalam UU Tipikor yang dibuat DPR periode 1999-2004," cetusnya.
"Kejaksaan dan Kepolisian cenderung menggunakan Pasal 5 UU Tipikor dengan ancaman maksimal 5 tahun, sedangkan KPK menggunakan Pasal 12a dengan ancaman maksimal seumur hidup," kata Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Andi Hamzah di Jakarta, Rabu (27/3/2013). KPK secara kasat mata ingin memberikan efek jera maksimal kepada penerima suap. Namun, dalam praktiknya KPK cenderung tidak konsisten. Kepada pemberi suap, KPK menerapkan pasal yang ringan, sedangkan penerimanya diganjar pasal berat. Dalam penegakan hukum seharusnya ada konsistensi. Misalnya, kalau KPK menggunakan Pasal 5 ayat 1 untuk menjerat pemberi suap, pasangannya, penerima suap, harusnya dijerat Pasal 5 ayat 2. "Sungguh tragis penerapan hukum di Indonesia," keluhnya. Dia menilai penerapan pasal suap dalam UU Tipikor juga berpotensi menjadi ganjalan dalam pelaksaan Pilpres dan Pilkada. Sebab, dalam UU Tipikor, memberi sumbangan kepada incumbent bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. "Setiap pemberi sumbangan pasti ada maunya, itu dimaklumi dalam KUHP. Namun, dalam UU Tipikor itu dianggap tindak pidana korupsi," jelasnya. Kasus pengusaha Siti Hartati Murdaya bisa dijadikan contoh mengkriminalisasi pemberi sumbangan pilkada itu. "Untuk kasus Hartati saya berpendapat perbuatan itu merupakan delik berdasarkan Pasal 13 UU Tipikor. Tapi tidak melawan hukum karena diatur dalam UU Pemilu, asal tidak melewati maksimum pemberian sumbangan," tegasnya. Dia mengatakan, apabila kondisinya melewati maksimum, maka dia dapat dituntut berdasarkan UU Pemilu, bukan UU Tipikor. "Sayang KPK tidak berwenang menuntut pelanggaran UU Pemilu. Ini berbeda dengan KPK-nya Malaysia yang berwenang juga menuntut pelanggaran UU Pemilu. Berarti orang Malaysia lebih tajam dalam mengantisipai keadaan ke depan," terangnya. Dia meminta agar presiden bisa membuat Perppu khusus untuk memperbaiki Pasal 11, Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 6 ayat 2, sedangkan Pasal 12 a/b dan 12c dihapus. "Sebagai informasi, kekecauan UU Tipikor ini menjadi bahan disertasi di Belanda. Dan Profesor hukum Belanda juga sudah tahu ada blunder dan foolish mistake dalam UU Tipikor yang dibuat DPR periode 1999-2004," cetusnya.
Copyright -- majalah konyol
Judul: Berita Terkini || Tragis'nya penerapan hukum di indonesia
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Berita Terkini
dengan judul Berita Terkini || Tragis'nya penerapan hukum di indonesia. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://ratu-maya.blogspot.com/2013/03/berita-terkini-tragis-penerapan-hukum.html. Terima kasih!
Belum ada komentar untuk "Berita Terkini || Tragis'nya penerapan hukum di indonesia"
Posting Komentar